Oleh: Suhana Lim

Personally tak begitu fond of dengan alcoholic drinks. Biasa-biasa saja; palingan waktu kecil dulu dirumah kalau ada special occasions, menikmati 葡萄酒 (pu tao chiew). Belakangan juga “berinteraksi” dengan tuak, air nira yang penjualnya masih memakai potongan bambu besar sebagai tempat penampungan air niranya! Kalau diluaran ada perayaan atau acara makan-makan, menikmati Anker. Dari kenalan, juga jadi berkenalan dengan brem, dan cap Tikus.
Having said that, menikmati minuman beralkohol ya sekedar untuk sosial saja, bukan karena kepingin mabok. Hence, sedari dulu kalau lihat teman-teman dan atau orang yang seakan mengonsumsi alkohol biar / kepingin mabok; saya rasa gimana gitu. Apalagi kalau lihat yang tipe minum kagak seberapa, udah ngak keruan ocehan dan lagaknya. Istilah jaman dulu nya: “minum seperempat gelas, mabok nya seempang (kolam)!” Haiya, owe malu melihat attitude begitu.😅
Belakangan waktu kuliah, topik skiripsi ialah mengenai service di bar. Waktu itu yang menjadi subjek tulisannya ialah bar yang ada di hotel Horison di kompleks Ancol, Jakarta Utara.
Setelah selesai kuliah, exposure ke alkohol jadi lebih “intens and close.” Pasalnya kerja sebagai bartender di sebuah karaoke club di kawasan Melawai, Jakarta Selatan. Waktu itu agak norak, karena baru pertama kali melihat yang namanya alat berkaraoke. Jadi tempat kerja saya adalah sebuah bar and karaoke khusus buat expatriat Jepang. Hanya bagi warga Jepang saja yang bisa menjadi members. Pekerja nya of course orang lokal. Ownernya seorang wanita paruh baya berkebangsaan Jepang, kami memanggilnya “mama-san.” Bukan tidak mungkin, saat itu (awal tahun 80 an) tempat ini adalah karaoke bar yang pertama kali di Jakarta.
Hampir seluruh member adalah tenaga ahli, jajaran direksi di perusahaan-perusahaan Jepang yang ada di Jakarta. Sebagai member mereka harus at least beli dua botol whiskey dan atau cognac untuk ditaruh di klub. Nah meski dalam tupoksi dan etika sebagai bartender, kita tidak dianjurkan buat menemani tamu minum; pada kenyataannya adalah sulit. Especially saat tamu nya sudah mulai “naik” alias mabok. Itu mengapa, setiap malam, selalu ended ikutan minum juga. Mama-san clearly tau, dan beliau tutup mata saja.
Gelas-gelas kristal yang dipakai di tempat kerja dari yang kualitas terbaik, hence adalah sebuah hiburan menarik manakala disaat-saat kepala sudah mulai “teng-tengan,” sambil minum ujung jari kita diputar-putarin di bibir gelasnya maka akan keluar suara mendengung yang merdu! Kadang juga dipaksa menemani tamu-tamu untuk berkaraoke; meski terus terang saya kagak bisa catch up karena rata-rata adalah lagu Jepang. Maklumlah taunya cuma lagu Kokoronotomo dan Amayadori saja!🙃
Setelah hampir dua tahun melakoni bartender, akhirnya karena kesehatan maka harus let go kerjaan, yang at that time memberikan gaji yang lumayan besar. Oleh dokter keluarga, saya dianjurkan untuk rubah profesi. Pasalnya at that time, Liver saya ada sedikit “hiccup.” Most likely karena lifestyle yang “kalong” dimana jam kerja mulai dari 5 sore sampai paling pagi jam 2 atau 3 pagi baru pulang. Mama-san termasuk sayang dan generous terhadap saya. Rutin memberikan “uang taxi” pulang meski kadang saya bawa motor ke tempat kerja. Tiap gajian pun selalu ada extra yang dikasihkan dalam amplop gaji. Inilah salah satu benefit jika di ba zi punya “Internal Flower” stars!
Since then, exposure ke alkohol menjadi berkurang jauh lagi. Dari yang setiap malam bergelimang dengan the best Cognac and or Whiskey menjadi cukup ber air putih, teh atau sesekali “lim” (“minum” dalam dialek Hokkian) kopi saja! Di era-era jadi bartender, adalah haram hukumnya buat menyentuh bir, cuma bikin perut gendut aja, dan kotor-kotorin lidah dan gigi saja!
Belakangan “warisan” (tricks) dalam interaksi dengan alkohol masih berguna. Saat dealing dengan teman-teman dari mainland China, jarang sekali yang tidak ditemani Moutai. Moutai termasuk minuman yang lumayan lah, Hasil dari destilasi sorghum, kandungan alkoholnya di kisaran 35 – 53%. Luckily umumnya pada tidak ngeh bahwa saya punya “past life” bartender. Mereka taunya saya seorang 风水先生. Kadang ada yang iseng mencoba cekokin saya Moutai terus. Luckily tidak sampai bikin saya hilang ke alertness an.
Every now and then ada pengalaman menarik dan berkesan. Ini bagi yang tidak kenal dekat saya. Saat berkaraoke, saat jamuan makan, kadang ada saja yang seakan mau melihat saya dalam sikon kurang atau tidak sadar karena pengaruh alkohol. In which saya lay low dan meminta yang bersangkutan juga menemani saya minum. Dalam etika minum, adalah very rude and un ethical kalau istilahnya 干杯 (bottom up) sendirian saja! Emangnya lagi 干杯 ke orang mati! Belakangan, yang bersangkutan malah yang ended up tergeletak. Pernah, in one occasion, seseorang sampai harus digotong keluar ruangan karaoke oleh teman-teman nya dan dibantu agar tidak terus-terusan muntah! Pasalnya yang bersangkutan memang dikenal sebagai 酒鬼 (setan alkohol). Bermula dari disela-sela jamuan sambil nyanyi, ia mengajak saya minum. Katanya mau lihat, apakah orang hong sui juga bisa bikin alkohol menjadi seimbang dan harmonis!🙃 In which saya senyam senyum in saja. Dan bilang: “saya coba yach, siapa tau bisa juga!” Dan ended nya malah si orang tersebut yang kehilangan “keseimbangan dan keharmonisan!”
Ya begitulah sebagian pengalaman in the past berinteraksi dengan beragam “minuman api” (Vodka, Gin, Port, Sherry, Whiskey, Cognac, Tawny, Tequila, Sake, Soju, Wine, Champange etc) yang kadang memberikan aneka peristiwa yang berkesan dan lucu-lucu. To date, still masih paling kagak ngeresep kalo melihat orang yang baru kenal alkohol, yang jiu liang (daya tahan terhadap alkohol) nanggung-nanggung tapi noraknya minta ampun seharam jadah! Haiya, owe malu melihat lagak begitu.😅
“All warfare is based on deception. Appear weak when you are strong, and appear strong when you are weak. If your enemy is secure at all points, be prepared for him. If he is in superior strength, evade him. If your opponent is temperamental, seek to irritate him.” – 孙子 — feeling thankful.